Saturday, January 13, 2018

FILM #2: Pitch Perfect 3

Ketika Pitch Perfect pertama rilis, aku inget banget anak-anak di sekolah pada ngunduh filmnya, nonton bareng-bareng, dan lagu-lagunya pun diputer berkali-kali. Lima tahun setelah film pertamanya rilis, sekarang Pitch Perfect sudah berkembang menjadi franchise yang berhasil mengembangkan ceritanya sampai tiga film. Ceritanya yang berawal dari Beca Mitchell (diperankan oleh Anna Kendrick) masuk kuliah di Barden University sampai sekarang udah kerja di label rekaman sebagai produser; semua berputar kepada kegiatanya sebagai penyanyi acapella barengan dengan grup yang dia ikuti sedari kuliah, The Barden Bellas.

Pitch Perfect 3 tetap menghibur; cover lagu yang disampaikan memang menarik, segar, dan kekinian. Lagu-lagu 'tua' yang dinyanyikan juga dibungkus ulang dengan baik -- sama seperti di dua film sebelumnya. Namun baru terasa bosannya adalah ketika The Barden Bellas yang sekarang disebutnya 'Bellas' aja karena anggotanya udah pada lulus kuliah, adalah ketika premis filmnya adalah tentang lomba lagi. Di film pertama jelas lomba nyanyi acapella. Di film kedua lomba nyanyi acapella lagi, tapi di taraf internasional. Di film ketiga ini mereka lomba lagi buat merebutkan posisi sebagai opening act-nya DJ Khaled dan lombanya... berpindah-pindah di berbagai pangkalan militer AS di benua Eropa. Hanya saja, kali ini lombanya bukannya melawan grup acapella lainnya, tapi melawan band-band dengan alat musik beneran.

Kalau penasaran, liat dulu trailernya:


**Lanjutan ulasannya berikut spoiler!**

Tuesday, January 9, 2018

FILM #1: The Greatest Showman

Tahun lalu, berdasarkan rekaman jejak di Letterboxd sudah 56 film (ditambah dua film pendek!) yang ditonton di tahun 2017. Dengan niatan sama untuk tetep rajin nonton di tahun ini, akhirnya aku mutusin buat mulai menulis movie review atau ulasan film di blog karena ngerasa kurang sreg aja nulis panjang di Letterboxd. Ulasannya sendiri sih nggak terlalu teknis, murni dari kesan pribadi aja. Mungkin film yang dianggap bagus banget sama kritikus film bisa aja ngebosenin buat aku pribadi, e.g. Dunkirk, The Blade Runner 2049, dll. Tapi ya pingin aja nambahin tulisan-tulisan yang menunjang hobi nonton ini hehe. Nah, pas banget di hari kedua tahun 2018 aku dan keluarga nonton The Greatest Showman yang diperankan oleh Hugh Jackman, Michelle Williams, Zac Efron dan Zendaya diantara pemeran-pemeran lainnya.


Kalau diliat dari trailer-nya, premis filmnya jelas: karakter yang diperanin Hugh Jackman yang bernama Phineas Taylor Barnum ini ngebuka sirkus, dimana sirkus ini dibintangi oleh orang-orang dengan karakter fisik unik dan somewhat typical circus -- entah karena sejarahnya dimulai oleh si P.T. Barnum sendiri atau untuk tujuan agar film lebih familiar di mata masyarakat, aku juga gak yakin. Intinya tapi di trailernya terlihat ada sirkus, ada karakternya Michelle Williams yang bakal berperan jadi kekasihnya si pemeran utama, ada Zac Efron yang lagi curi-curi pandang ke Zendaya, terus ada adegan kebakaran yang menurutku spoiler banget sih. Trailer-nya diiringi oleh original soundtrack berjudul This Is Me - yang menurutku adalah lagu terbaik di film ini.

**Ulasan ini berikut spoiler film, lanjut membaca dengan resiko sendiri ya! Hehe.**

Thursday, January 4, 2018

Akhir Pekan di The Degung Hillside, Bogor, Jawa Barat

Terakhir kalinya ikut liburan bersama keluarga besar, kami berangkat ke The Degung Hillside -- semacam resor di daerah Ciawi, Bogor, Jawa Barat. Sebenernya ada acara kumpul-kumpul sebulan setelah ini sih, tapi sayangnya waktu itu berhalangan masuk karena ada tes masuk kerja di sebuah perusahaan swasta (yang pada akhirnya gak berhasil didapet, hiks *curcol*). Seiring dengan selesainya cuci dan scan gulungan film yang diambil di liburan waktu itu, aku mikir sekalian aja diunggah ke blog. Hasilnya banyak yang gak fokus dan buram, tapi rasanya blog ini perlu semakin banyak gambar lucu sekaligus buat mengasah mata buat lebih peka terhadap seni di sekitar #azeg.













Tempat The Degung Hillside sendiri juga bagus, lapangan parkirnya luas, ada lapangan bola, saung-saung kecil yang pewe banget dengan angin sepoi-sepoinya yang bikin tidur diatas kayu serasa tidur di spring bed; karena kita perginya pas akhir pekan dari hari Sabtu hingga minggu, pas malam minggu juga ada iringan organ dan penyanyi di panggung kecil di area ruang makan. Jelaslah kesempatan nyanyi langsung diambil dimulai dari keponakan yang masih dedek-dedek sampai kakek-neneknya. Penyanyinya sampai gak dikasih kesempatan megang mic.








Kalau menurut situsnya sih mereka juga nyediain kegiatan-kegiatan outbond buat anak-anak dan ada juga fasilitas kolam renang yang tersedia, tapi keluarga sih lebih milih duduk-duduk santai seharian, ngopi dan main kartu seharian hahaha. Kami sendiri menyewa dua rumah (yang bisa keliatan di latar foto terakhir) dan satu rumah itu menyediakan empat kamar dengan double bed dan masing-masing punya kamar mandi en suite. Kalau mau cari alternatif juga ada kamar yang berbentuk gazebo yang biarpun kecil tapi lebih unik. Tempatnya luas jadi cocok untuk bawa keluarga maupun grup besar kesini dan ini jadi alternatif bagus untuk keluar dari kepenatan ibukota di akhir pekan.

Duh, jadi kangen.



Untuk informasi lebih lanjut, cek harga paket di situsnya di sini.

Wednesday, January 3, 2018

Ketibaan di Bandar Seri Begawan (Brunei - Bagian 1)

Selamat tahun baru 2018! Di post perdana tahun ini, sedikit beda karena Selena mulai menulis konten blog menggunakan Bahasa Indonesia. Iya, ini salah satu perubahan yang aku ambil dan akan tekuni di 2018. Untuk pengumumannya ada di laman 'News' aku ya (kayak artis yang bikin press release aja, Sel). Jadi setelah absen dua bulan lebih (dan menunda-nunda postingan) akhirnya aku pun berjanji pada diri sendiri untuk mulai mengejar ketertinggalan aku dalam menulis blog. Pas banget di awal tahun ini, roll film Kodak Colorplus 200 dan Agfa Vista 200 aku selesai diproses cuci dan scan. Tiga dari empat roll-nya berhasil di scan dengan baik, namun satu roll isinya hitam semua... Maklum, satu roll itu dipakai untuk jeprat-jepret pakai kamera Opa yang biarpun udah diperbaiki dan dijanjikan bisa dipakai motret sama bapak-bapak toko kamera di Pasar Baru tapi ternyata hasilnya zonk. Entah salah kameranya atau kenihilan bakat fotografi manual pakai kamera analog, entahlah jawabannya.

Marilah kita memulai post perdana tahun ini dengan sebuah selfie pura-pura candid.
Relevansinya ke dalam post ini? Gak ada. Cuma aja foto ini juga diambil di Brunei.

Si Fujifilm Qcam kecil ini jadi teman jeprat-jepret foto beberapa minggu belakangan ini.
Jarang dipakai karena beli roll film mahal, cuci scannya mahal, fotonya sering goyang, gak bisa autofocus, tapi flashnya kenceng, enteng dan kameranya sendiri murah. Selain foto-foto yang diambil dengan Qcam, foto-foto di post ini diambil dengan aplikasi asal Korea Selatan yang bernama Gudak (baru ganti nama jadi Kudak) yang sekarang bisa diunduh di App Store maupun Play Store secara gratis!

Nah, salah satu roll film 36 exposure itu dipenuhi oleh foto-foto perjalanan di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam. Tanggal 25-27 November 2017 lalu, aku diajak bareng Bunda bersama teman-teman geng arisan kantor buat jalan-jalan ke Brunei Darussalam. Jujur aku selama ini tertarik banget untuk pergi ke Brunei -- buktinya waktu aku kelas 3 SMP, aku pernah bikin analisis perbandingan sistem kesehatan negara Brunei Darussalam. Kenapa milihnya Brunei? Ya kagum aja. Negara kaya yang angka PDB-nya mencengangkan untuk negara dengan ukuran sekian. Merupakan jiran Indonesia. Masih cenderung jarang dibahas pula, selain tentang Pangeran Abdul Mateen yang beken karena tampang manisnya dan tentunya karena gelarnya sebagai penerus tahta kerajaan terbesar di dunia (cek Instagram beliau di sini). Anyway, jelas seneng banget waktu ada kesempatan jalan-jalan ke Brunei walaupun harus rela jadi tukang foto untuk 10 ibu-ibu dan 1 orang bapak yang setia menemani isterinya disana.

Kurang lebih inilah my crew untuk akhir pekan ini. Muat di satu minibus, hehe.


Tanggal 25 November subuh, rombongan tur udah siap berangkat di bandara. Jadi untuk perjalanan ini kami ikut tur (yang sejujurnya agak 'nanggung') yang diberi berbarengan dengan tiket pesawat di kantor Air Brunei. Tur tiga hari itu isinya dijemput di hari pertama, kegiatan bebas di hari kedua, tur keliling di hari ketiga. Jujur aja dua hari pertama itu jadi dibuat bingung dan gabut saking gak ada koordinasi. Karena aku juga satu-satunya anak-anak di grup ibu-ibu jadinya gak bisa berbuat banyak juga ketika para ibu-ibu pada bingung karena itinerarynya gak jelas saking kebanyakan waktu luangnya. Kenapa bingung, kok waktu luangnya gak dipakai jalan-jalan? Jadi gini, Brunei itu merupakan negara yang ukurannya tidak terlalu besar dan populasinya berkisar 400.000 penduduk. Sepi banget kan, apalagi kalau dibandingin dengan populasi di Jakarta. Jadinya gak banyak atraksi dan pilihan wisata. Pilihan makanan pun enggak terlalu banyak karena katanya agak susah untuk ngedapetin izin buka usaha disana karena harus menempuh birokrasi yang berurusan dengan pihak kerajaan. Aku gak terlalu ngerti juga, tapi ketika salah satu pramugara Air Brunei bilang dia sering ke Jakarta for leisure alias liburan, bikin aku agak-agak deg-degan kok kayaknya di Brunei sarat hiburan buat turis maupun penduduk lokal.

Akhirnya sesampainya di Brunei International Airport, kami dijemput oleh tim tur dari Air Brunei dan diturunkan di hotel kami, tepatnya di Centrepoint Hotel di daerah Gadong, dimana hotelnya ini berdekatan dengan pusat makanan dan lokasinya tinggal jalan kaki dari The Mall Gadong mal terbesar seantero Brunei. Sebelumnya aku juga beli nomor dan paket data di bandara karena berdasarkan ulasan-ulasan TripAdvisor, katanya hotelnya gak nyediain WiFi gratis. Panik dong! Akhirnya aku pun beli paket data dan telepon untuk turis dari Progresif dan sedikit menyesal gak menyesal udah ngeluarin BND 25 untuk paket data dan telepon unlimited untuk 30 hari di Brunei. Eh bener kan, ternyata hotelnya nyediain WiFi (walaupun hanya untuk dua hari) padahal di ulasan terakhir TripAdvisor tertanggal sekian Oktrober katanya hotelnya masih enggak nyediain WiFi. Gak apa-apalah, diikhlasin aja. Lebih baik sedia payung sebelum hujan, toh akhirnya nomor lokal itu berguna banget untuk nelepon nomor domestik 10 menit ke luar negeri termasuk Indonesia! Hehehe.

By the way, bagi yang mempertimbangkan untuk roaming data dari provider Indonesia, mending cek lagi sama providernya. Karena aku pribadi pakai XL (yang notabene merupakan anak perusahaan dari Axiata yang berasal dar Malaysia) dan mereka enggak nyediain paket yang harganya masuk akal. Kalau gak salah hitungannya mereka akan charge IDR 100 per kilobyte dan penggunaan maksimal per hari dibatasi sampai IDR 250.000. Udah mahal, terbatas pula. Makasih deh. Ibu-ibu lain yang udah menghubungi penyedia jasa seluler lain kayak Telkomsel dan Indosat pun masih ada yang kesusahan buat aktivasi roaming dan lain-lain, gak sesimpel seperti kalau ke Malaysia atau Singapura.


Kurang lebih penampakan Brunei International Airport dari tempat menunggu kendaraan.
Bandaranya sepi dan desainnya serupa dengan bandara di kota-kota besar Indonesia yang sudah diperbaharui di satu dekade belakangan ini, "tapi lebih sepi" tambah Bunda.

Sopir kami di hari pertama dan ketiga. Candid biar kekinian.




Sesampainya di hotel aku dan Bunda pun nyoba makanan yang merupakan kearifan lokalnya orang Brunei. ENGGAK DENG. Kita makan Jollibee, merk ayam goreng tepung waralaba dari Filipina yang akhir-akhir ini makin beken semenjak mereka melebarkan sayap ke Amerika Serikat. Kebetulan Jollibee ini lokasinya tepat sebelah hotel tempat kami tinggal. Daku yang penasaran (dan emak yang ngikut maunya si anak -- dia udah gak penasaran lagi karena udah pernah makan Jollibee waktu masih ada di Mal Ciputra, bahkan katanya Da Arvin dan Da Vito pernah ngerayain ulangtahun disana). Enak sih, tapi enak aja gak pake banget. Setidaknya jadi gak penasaran dan berhasil nyoba ayam yang dicocolin gravy-nya. Setelah makan Jollibee, daku pun membuka Twitter. Eh, Coconuts Jakarta ngumumin bahwa Jollibee akan dibuka ulang di Jakarta. Oke sip. Abis makan berduaan di Jollibee kita balik ke kamar buat leyeh-leyeh bentar. Eh, lalu para ibu-ibu (dan satu bapak) ngajakin makan. Ya masa kita nolak dan di hotel berduaan aja, gak asik dong. Gak ada kita kan gak rame. Akhirnya kita ikut para ibu-ibu ke restoran Melayu yang menyediakan makanan khas Brunei. Kita pergi dengan taksi Brunei yang bentuknya sih kayak pakai Toyota Kijang Innova aja. Di Bandar Seri Begawan sendiri sih gak banyak taksi, katanya di seantero Brunei cuma ada 40 taksi dan semua harus dipanggil by order. Yha baiklah.

Polisi di Brunei.
Disaat foto ini diambil, di bagian kanan jalan ada mobil Sultan Hassanal Bolkiah lewat.
Ibu-ibu pada heboh melambai-lambai sedangkan daku kelewatan prime photo opportunity.


Selagi Brunei pelan-pelan bertransisi menjadi negara Islam, enggak heran bahwa ada papan-papan pengingat dzikir di berbagai penjuru jalan. Unik sih, baru pertama kali ngeliat yang kayak gini. Ibu-ibu pada kagum akan inisiatif ini. Tulisannya sendiri dalam alfabet Arab -- alfabet yang juga digunakan untuk Bahasa Jawi yang digunakan di Brunei.

Kami akhirnya sampai di Aminah Arif Restaurant. Yang melayani kami hari itu ternyata orang Indonesia dari Tegal. Langsung deh restoran jadi berasa warteg. Restorannya sendiri sih gak gede-gede amat dan dekorasinya sederhana, tapi katanya restoran ini favoritnya para orang lokal. Bener aja kan, saking bekennya supir tur yang kita sewa keesokan harinya juga bawa kita ke restoran ini. YA TEMAN-TEMAN, SAYA MAKAN DISINI DUA KALI. DUA-DUANYA NGIKUTIN SARAN SUPIR LOKAL YANG BERBEDA. KAMI TAK TAHU APA-APA DAN HANYA WENT WITH THE FLOW. Rasa makanan-makanan di restorannya sih enak, aku suka kwetiaunya yang ternyata ada varian kayak kwetiau siram sama kwetiau goreng (tapi jangan tanya daku apa namanya di menu karena daku telah lupa~). Di restoran ini juga aku nyobain ambuyat. Apaan tuh ambuyat? Jadi ambuyat itu salah satu makanan yang paling unik di Brunei (tapi kalau menurut testimoni para emak-emak ya, makanan serupa bisa ditemukan di berbagai bagian Nusantara tapi itulah indahnya bertetangga, arus budayanya pun menyebar kesana-kemari) yang merupakan makanan pelengkap seperti nasi yang terbuat dari tepung sagu. Rasanya sih cenderung hambar, tapi teksturnya kenyal  dan lengket kayak butiran tepung tapioka yang biasa didapet kalau beli bubble tea. Bukan seleraku, tapi kata ibu-ibu ambuyat itu cocok dikasih santan. Karena gak suka gulai dan memang lagi gak diperbolehkan makan santan selama diet, daku pun hanya mencoba ambuyat as it is.

Makanan yang terlihat gak berbentuk dan berwarna di atas inilah yang disebut ambuyat. Disediakan bersama 'sumpit' bambu yang gak bisa depenuhnya dipatahin jadi dua, jadi di satu sisinya udah ditempel dengan karet biar gak kemana-mana.
Biarpun lebih unik, lebih gampang ngambilnya pakai sendok aja, manteman.
Selesai (nambah) makan di Aminah Arif Restaurant, rombongan ibu-ibu pun kembali ke hotel untuk beristirahat, dan sorenya kami kembali dijemput oleh tur. Kami mengunjungi Masjid Sultan Haji Hassanal Bolkiah -- masjid agung yang dibangun oleh Sultan Hassanal Bolkiah yang kini masih menempati tahta sebagai pemimpin Brunei Darussalam. Karena sudah terlanjur gelap, kami hanya foto-foto sebentar di luar. Aku pribadi gak sempat banyak foto karena terlalu sibuk melayani ibu-ibu foto. Masjidnya sendiri bagus banget pas malam, ketika lampunya nyala dan menerangi kubah-kubah masjid dan halamannya.





Selain masjid, kami juga pergi ke The Airport Mall. Mal yang letaknya dekat dari bandara ini (yaiyalah) tidak terlalu besar, tapi cukup modern. Lokasi bandara sebenernya gak jauh dari titik pusat kota, palingan hanya memakan waktu 20 sampai 30 menitan dengan mobil. Tapi masalahnya di Brunei adalah gak banyak kendaraan umum yang tersedia, jadi memang butuh pakai kendaraan roda empat untuk bernavigasi kemana-mana. Terkait The Airport Mall, di dalamnya terdapat restoran, toko mainan, kecantikan, pakaian yang sering kita lihat di Jakarta seperti The Body Shop, Guardian, Cinnabon, The Face Shop, KFC, Dairy Queen, Pizza Hut... you get the idea.

Awalnya sih tertarik liat-liat karena  harga valas Brunei Dollar berbanding lurus dengan Singaporean Dollar jadi mikirnya harga-harga barang akan lumayan lebih murah dibandingin di Jakarta. Ternyata... enggak juga. Micellar Water-nya Garnier lebih mahal di Brunei, Nivea Creme harganya 11-12 dengan di Jakarta, harga restoran waralaba lebih mahal tapi enggak semahal di Singapura, The Body Shop harganya persis sama tapi mereka ngasih diskon 10% untuk turis (The Body Shop juga ada di airport, bagi yang pingin dapetin diskon 10% sebelum berangkat). Brunei sendiri bebas pajak karena devisa negaranya akan dialirkan ke kerajaan. Jadi wajarlah kalau ada ekspektasi kalau harga barang sehari-hari lebih murah dari Jakarta. Ternyata enggak juga. Hiks.

Ada lomba Tamiya ditengah-tengah malnya. Serasa kayak Mall Ambassador.
Malam itu kami disuguhkan jamuan makan malam prasmanan oleh tur di sebuah restoran yang dikelola orang Indonesia asal Bogor. Kali ini berasa makan-makan di Puncak. Sayangnya malam itu enggak nafsu makan, tapi teh tariknya enak banget manteman, daku nambah beberapa kali. Nah, kan gak nafsu makan sampai saatnya tiba di... pasar malam! Jadi Gadong Night Market itu merupakan 'pasar' yang bentuknya kayak Pasar Modern BSD (kurang lebih Bandar Seri Begawan itu emang kayak Bumi Serpong Damai, tapi lebih sepi dan tertata).

Di Gadong Night Market itu, dimulai dari pukul 17.00 sore berbagai pedagang menjual jajakannya di susunan meja rapi. Ukuran gedungnya cukup luas karena antara satu penjual dengan penjual lainnya ada banyak ruang. Pembelinya pun cukup banyak tapi tidak sampai bikin sesak; rebutan kursi aja gak akan. Pilihan makanannya sendiri dimulai dari char kway teow, nasi lemak, aneka macam gorengan, aneka fish cake, kebab, kerupuk,  hidangan clay pot, kue basah, teh tarik bahkan Pop Ice. Aku pun membeli ayam madu, sate udang, dan Pop Ice rasa melon. Antrean paling ramai sih di penjual char kway teow dengan toping macem-macem dimulai dari ayam, kambing sampai kerang tapi sayangnya gak ada banyak waktu untuk antre jadi gak bisa nyoba :(



Walaupun sudah cukup malam ketika kami selesai mengampiri pasar malamnya itu, pemandu tur masih mengusulkan untuk mengunjungi The Mall Gadong -- si mal terbesar seantero Brunei itu. Berhubung hotel kami dekat dengan malnya, akhirnya kami minta diturunkan di hotel aja untuk istirahat. Toh bisa ke mal-nya besok-besok lagi. Akhirnya kami pun kembali ke kamar masing-masing dan langsung terbaring di kasur. Lelah.

Cerita tentang Hari Kedua bisa dibaca disini (segera).